Ayahnyabernama Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad—yang saat itu menjadi sultan Banten ke-5. Dari garis ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa merupakan cucu Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Sultan Agung. Raja ke-4 Banten ini dikenal berani dan gigih melawan penjajah. Sementara ibunya adalah Ratu Martakusuma—putri dari Pangeran Jayakarta
Jakarta - Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu pahlawan nasional asal Banten. Bahkan namanya diabadikan sebagai nama Universitas, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Untirta di Provinsi Sultan Ageng Tirtayasa tak lepas dari perjuangan melawan penjajah Belanda. Dia juga berjasa membawa kesultanan Banten berkembang pesat dalam berbagai bidang, mulai politik, perekonomian hingga bagaimana profil Sultan Ageng Tirtayasa? detikcom merangkum ulasannya berikut ini. Mengutip dari Buku berjudul 'Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler' tulisan Amir Herdarsah dan laman resmi Pemprov Banten, berikut profil Sultan Ageng TirtayasaNama kecil Abdul FatahLahir Banten, tahun Tua Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Rau Martakusuma Sultan Banten Tahun 1640-1650Gelar Pangeran SuryaKetika ayahnya wafat, ia mendapat gelar Pangeran Rau atau Pangeran Adipati dan menjadi Sultan kakeknya meninggal dunia, dia naik takhta sebagai Sultan di usia 20 tahun, dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Sultan Ageng Tirtayasa sendiri dipakai usai dirinya mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa terletak di Kabupaten Serang.Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa Terhadap BelandaSultan Ageng Tirtayasa mulai berkuasa pada tahun 1651-1683. Dia dikenal sangat tegas melawan Belanda. Dia memerintahkan rakyat Banten untuk menolak kerja sama dengan VOC Belanda, yang kala itu merugikan Kesultanan Banten. Bahkan banyak kapal hingga perkebunan teh VOC yang berhasil dirampas dan dirusak oleh para rakyat itu, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa juga diwujudkan dengan menolak perjanjian monopoli VOC dan membongkar blokade laut Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa lebih memilih melakukan kerjasama perdagangan dengan bangsa Eropa lainnya, seperti Denmark dan Sultan Ageng Tirtayasa untuk membawa Banten sebagai Kerajaan Islam terbesar di nusantara sangat kuat. Dia berusaha meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan Ageng Tirtayasa juga mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat Ageng Tirtayasa amat gigih melawan Belanda. Namun kepemimpinannnya digulingkan atas hasutan Belanda. Ulasannya dapat dilihat di halaman selanjutnya.
SultanAgeng Tirtayasa (1631-1683) adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Ia adalah putera Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten pada periode 1640-1650. Ketika kecil, ia diberi gelar Pangeran Surya. , Sultan Ageng Tirtayasa mendekati Belanda untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu
- Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Banten keenam, yang memimpin sejak 1651 hingga 1683. Pada masa kekuasaannya, Kesultanan Banten berhasil mencapai puncak kejayaan. Di sisi lain, masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa juga diwarnai konflik internal kerajaan. Sultan Ageng Tirtayasa diketahui memiliki beberapa anak, salah satunya adalah Sayyidi Syeikh Maulana Mansyuruddin atau Sultan internal di Kesultanan Banten terjadi akibat perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Lantas, apa penyebab konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji, serta bagaimana akhirnya? Baca juga Sultan Haji, Raja Kesultanan Banten yang Berkhianat demi KekuasaanSultan Haji bersekongkol dengan VOC Latar belakang konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji adalah upaya Sultan Haji merebut kekuasaan dengan bersekongkol bersama VOC. Sultan Ageng Tirtayasa adalah salah satu raja di Nusantara yang menentang keras pendudukan VOC di Indonesia. Pada 1652, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan tentaranya untuk menyerang VOC di Jakarta, yang kemudian berujung pertempuran antara Kesultanan Banten dengan Belanda. Peran Sultan Ageng Tirtayasa dalam upaya mempertahankan Kesultanan Banten adalah melakukan sabotase dan perusakan kebun tebu serta pabrik-pabrik penggilingan VOC pada 1656. Pasukan Banten juga membakar kampung-kampung yang dijadikan sebagai pertahanan Belanda.
SultanAgeng Tirtayasa Wafat. Perang keluarga ini terjadi berlarut-larut sehingga Kesultanan Banten pun semakin melemah. Pada tahun 1683, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan di bawah ke Batavia untuk dipenjara. Pada tahun 1962, Sultan Ageng Tirtayasa pun meninggal dunia saat berusia 61 tahun.
- Sultan Ageng Tirtayasa merupakan pahlawan nasional Indonesia yang pernah menjadi penguasa Kerajaan Banten periode 1651-1682. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan dan kerap melawan kekuasaan VOC yang ingin melakukan monopoli di bidang perdagangan. Namun, perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa harus terhenti karena pengkhianatan putranya sendiri yang bernama Sultan ini sejarah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa. Baca juga Konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa Gelar Sultan Ageng Tirtayasa saat naik takhta pada 1651 adalah Sultan Abdulfath. Di bawah pimpinannya, Kerajaan Banten mencapai puncaknya dalam bidang politik, ekonomi, perdagangan, keagamaan, dan kebudayaan. Dalam bidang politik, Kerajaan Banten terus-menerus melawan kolonialisme VOC, baik di darat ataupun melalui laut. Sejak sebelum Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa, Belanda selalu berusaha menghalang-halangi perkembangan perdagangan Banten yang dikhawatirkan merugikan perdagangan VOC di Batavia Jakarta. Berbeda dari penguasa Banten sebelum-sebelumnya, Sultan Ageng Tirtayasa sangat membenci VOC dan tidak mau tinggal diam menyaksikan kelicikan bangsa penjajah. Baca juga Alasan Sultan Ageng Tirtayasa Melakukan Perlawanan terhadap VOC Salah satu bentuk perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa adalah melakukan penyerangan dengan sistem gerilya terhadap Batavia lewat darat, dan serangan-serangan kecil melalui laut. Pada 1656, dua kapal VOC berhasil rampas oleh pihak Banten dan dilakukan pula perusakan terhadap perkebunan-perkebunan tebu Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa juga menolak menerima utusan Belanda. Kondisi itu membuat Belanda gerah dan memblokade pelabuhan Banten untuk merugikan perdagangan kerajaan. Salah satu pertempuran melawan VOC yang terkenal pada masa Sultan Ageng Tirtayasa adalah peperangan di daerah Angke-Tangerang 1658-1659. Peperangan itu diakhiri dengan perjanjian 12 pasal yang disepakati pada 10 Juli 1659. Salah satu isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Banten tidak lagi bisa mengadakan perdagangan dengan Maluku. Akan tetapi, Belanda bersedia membayar kerugian-kerugian yang diderita juga Sultan Ageng Tirtayasa Asal-usul, Peran, dan Perjuangan Setelah perjanjian ini, sultan memperkuat pertahanannya dengan membangun keraton di Tirtayasa, membuat jalan dari Pontang ke Tirtayasa, dan membuka persawahan di sepanjang jalan tersebut serta mengembangkan permukiman di Tangerang. Selain itu, salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa di bidang perdagangan internasional adalah memperkuat hubungan dengan pedagang asing. Misalnya para pedagang dari Iran, India, Arab, Inggris, Perancis, Denmark, Jepang, Filipina, China, dan sebagainya. Kemajuan perdagangan Kerajaan Banten pun dicatat dalam harian Belanda Daghregisters, yang menganggap situasi itu sebagai ancaman bagi kedudukan VOC di Batavia. Ketegangan antara Kerajaan Banten dan VOC terus berlangsung selama beberapa tahun berikutnya. Banten berhasil mendesak kedudukan Belanda di Cirebon, Citarum, bahkan Batavia. Saat itu, keadaan perdagangan VOC dapat dibilang menderita, karena Belanda juga sibuk menghadapi perlawanan Trunojoyo di Jawa bagian timur. Baca juga Akibat Campur Tangan Belanda dalam Kerajaan Banten Keadaan mulai berubah pada 1680, ketika pemberontakan Trunojoyo berakhir, sehingga Belanda bisa memusatkan kembali perhatiannya ke Jawa bagian barat, tepatnya ke Banten. Pada 10 November 1681, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim utusan diplomatik ke Inggris di bawah pimpinan Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana. Selain itu, demi kepentingan politik kerajaan, Sultan juga menjalin hubungan persahabatan dengan para penguasa daerah, seperti Cirebon, Lampung, Gowa, Ternate, dan Aceh. Strategi-strategi Sultan Ageng Tirtayasa yang dianggap sebagai perlawanan keras itu memicu VOC melakukan politik adu domba. VOC mendekati Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa, yang saat itu hubungannya tengah merenggang. Siasat VOC pun berhasil, hingga Sultan Haji mau bekerja sama dengan Belanda demi meruntuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara sehingga harus menyerahkan kekuasaannya politik kerajaan kepada Sultan Haji. Berakhirnya perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi tanda berkibarnya kekuasaan VOC di Banten. Referensi Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta Balai Pustaka. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
SultanAgeng Tirtayasa dengan terang-terangan menolak kerja sama. Belanda melakukan monopoli dagang dalam Kesultanan Banjar. 9292016 Pasukan Banten yang dipimpin Sultan Ageng yang menyerang Belanda di Batavia. Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa Melawan VOC Sultan Ageng Tirtayasa Banten 1631 1683 adalah putra Sultan Abdul Maali Ahmad dan Ratu
Pahlawan yang hidup pada masa awal kedatangan Belanda, memang tidak mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Namun, jasa mereka yang mempertaruhkan segalanya demi mengusir penjajah sungguh tak bisa dianggap sepele. Nah, dari sekian banyak pahlawan nasional di era awal kedatangan Belanda, berikut kami sajikan biografi Sultan Ageng Tirtayasa yang rela berperang dengan anaknya yang bekerja sama dengan masa awal kedatangan Belanda, daerah-daerah di Indonesia masih berbentuk kerajaan. Di antara raja-raja yang berkuasa, ada yang pro Belanda dan ada juga yang kontra. Nah, dari beberapa raja yang kontra terhadap Belanda, salah satu yang benar-benar gigih melakukan perlawanan adalah raja ke-6 Kesultanan Banten yang kisahnya tersaji dalam biografi Sultan Ageng Tirtayasa jika dibandingkan dengan Belanda yang memiliki persenjataan lebih canggih, mungkin alat perang Kesultanan Banten saat itu tergolong seadanya. Namun, hal tersebut tak meruntuhkan semangat sang sultan untuk terus melawan tak hanya tentang kegigihannya dalam melawan kolonialisme, di biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini kamu bisa mendapatkan informasi tentang permusuhan antara Sultan Ageng dan putra sulungnya, Sultan Haji. Ya, permusuhan itu terjadi karena Sultan Haji malah mendukung Belanda dan mengkhianati sang bisa begitu, ya? Kalau kamu penasaran dengan kisah lengkap Sultan Ageng Tirtayasa yang berseteru dengan putranya sendiri gara-gara Belanda, simak terus uraian tentang perjalanan hidup sang sultan dalam biografi ini. Selamat membaca! Kehidupan Pribadi Sumber Wikimedia Commons Untuk lebih mengerti seseorang, memahami bagaimana kehidupan pribadinya adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, kami juga menyajikan tentang latar belakang keluarga sang sultan dalam biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini. Sultan Ageng Tirtayasa lahir pada tahun 1631 dengan nama Pangeran Surya. Ia adalah putra pasangan Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari dan Ratu Martakusuma. Kakek dari ibunya adalah Pangeran Jayakarta, dan kakek dari ayahnya adalah Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Khadir atau Sultan Agung yang merupakan sultan ke-5 Banten. Dari ayah dan ibu yang sama, Pangeran Surya memiliki empat saudara, yaitu Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Arya. Sedangkan dari ayah yang sama dan ibu yang berbeda, ia juga memiliki empat saudara, yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Intan, dan Ratu Timpuruk. Pangeran Surya diangkat menjadi sultan muda pada 1650. Sebab ayahnya, Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari, yang menjabat sebagai sultan muda selama periode 1640–1650, telah terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta. Setelah satu tahun menjabat sebagai sultan muda yang bergelar Pangeran Adipati, ia dinobatkan sebagai sultan ke-6 Banten dan diberi gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Sebab, sang kakek yang sebelumnya menjabat sebagai sultan ke-5 telah meninggal pada 10 Maret 1651. Selama hidupnya, Sultan Abu al-Fath Abdulfattah pernah menikah sebanyak tiga kali. Namun, istri kedua dan ketiganya dinikahi setelah istri pertama meninggal dunia. Nama istri pertama Sultan Abu al-Fath Abdulfattah tak diketahui karena tak terukir dalam sejarah, sedangkan istri kedua dan ketiganya bernama Nyi Ayu Ratu Gede dan Ratu Nengah. Baca juga Biografi Frans Kaisiepo, Pahlawan di Lembaran Uang yang Memperjuangkan Penyatuan Papua dengan Indonesia Kebijakan Sultan Ageng Tirtayasa & Perjuangannya Melawan Belanda Sumber Selama menjabat sebagai pemimpin Kesultanan Banten, Sultan Abu al-Fath Abdulfattah yang juga dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa, berusaha membuat kebijakan yang bermanfaat untuk kemajuan Banten. Kebijakan-kebijakan yang diterapkannya tentu ada yang untuk dalam negeri dan ada juga yang ditujukan ke luar negeri. Penasaran seperti apa upaya sang sultan yang berhasil membuat Banten berada di puncak kejayaannya? Simak terus biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini! 1. Kebijakan Dalam Negeri Untuk meningkatkan hasil pertanian Banten yang bisa berujung dengan kemakmuran masyarakat, Sultan Ageng membuka lahan-lahan persawahan baru. Agar penduduk tak kesulitan untuk mengairi sawahnya, Sultan juga membangun sistem irigasi agar masyarakat tak perlu menunggu hujan untuk bercocok tanam. Di bidang pendidikan, Sultan membangun pesantren-pesantren untuk memudahkan masyarakatnya yang ingin menimba ilmu keislaman. Di bidang keagamaan pun demikian, Sultan membangun banyak masjid agar masyarakatnya bisa melaksanakan ibadah di tempat yang layak. Sedangkan untuk pemerintahannya, Sultan ingin agar nuansa keislaman tetap terpancar di Kesultanan Banten. Oleh sebab itu, ia sampai mengangkat Syekh Yusuf, ulama yang didatangkan dari Makassar, untuk menjadi mufti ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat dan menjadi penasihatnya dalam menentukan segala keputusan. Baca juga Mengenang Sosok Penyair yang Dijuluki Si Binatang Jalang Lewat Biografi Chairil Anwar Ini 2. Kebijakan Luar Negeri Untuk kebijakan luar negerinya, Sultan Ageng berani mengambil langkah tegas dengan tak melanjutkan perjanjian dagang dengan Belanda. Padahal, perjanjian tersebut sudah ada sejak tahun 1645, yaitu dimulai masa pemerintahan Sultan Abdulmufakar Mahmud Abdulkadir, kakek Sultan Ageng. Bukan hanya tak mau melanjutkan perjanjian dagang, Sultan Ageng juga dengan berani berusaha menghalang-halangi Belanda untuk berdagang di Banten. Gara-gara kebijakan-kebijakan yang diterapkan Sultan Abu al-Fath Abdulfattah ini, Belanda marah sehingga pelabuhan Banten di blokade, dan pedagang-pedagang yang tadinya mendarat di Banten dipaksa untuk mendarat di Batavia. Tak terima, Sultan Ageng mulai menyerang Belanda dengan cara membakar kebun-kebun tebu dan alat penggilingan milik Belanda. Tak hanya itu, Sultan juga memerintahkan pasukannya untuk membakar kampung yang menjadi pos pertahanan Belanda. Mendapat perlawanan yang demikian, Belanda tak tinggal diam. Mereka berusaha memperkuat pertahanan di daerah Angke yang pernah di serang Sultan Ageng, dan juga perbatasan Tangerang-Jakarta. Ya, perang antara Banten dan Belanda yang terjadi sepanjang tahun 1656 itu walaupun tidak terbilang besar, tapi tetap menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak. Sultan Ageng sadar bahwa perlawanannya terhadap Belanda kurang membawa hasil yang gemilang dan terlalu berisiko jika dilakukan sendiri. Oleh karenanya, ia juga berupaya menjalin persahabatan dengan kerajaan lain yang sama-sama menentang Belanda. Sedangkan untuk hubungan kerja sama antarkerajaan yang telah terjalin, sang sultan berusaha untuk memperkokohnya. Nah, dari sekian banyak kerajaan yang diajak bekerja sama, beberapa di antaranya, yaitu Demak, Cirebon, dan Gowa. Perjanjian Damai dengan Belanda Setelah sebelumnya gencar berperang, akhirnya pada akhir tahun 1657, Kesultanan Banten dan Belanda sepakat untuk melakukan perjanjian damai. Belanda mengusulkan agar orang-orang Belanda dari Batavia, termasuk yang sudah disunat memeluk Islam, yang ditahan di Banten dikembalikan. Sedangkan Banten mengajukan syarat agar diizinkan berdagang ke Ambon, Perak, dan Ujung Pandang. Namun, pada 29 April 1658, Belanda mengajukan syarat damai tambahan yang isinya menyatakan bahwa Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan ekor lembu, kapal Belanda yang berlabuh di Banten tidak diperiksa, dan Belanda tidak membayar bea cukai untuk kapalnya yang lewat perairan dan berlabuh di Banten. Karena Belanda mengajukan syarat tambahan, pada 4 Mei 1658, Sultan Ageng juga mengajukan syarat tambahan yang menyatakan bahwa pasukan Kesultanan Banten harus diizinkan datang ke Batavia tiap setahun sekali untuk membeli meriam, peluru, mesiu, dan cengkih. Namun, Belanda tak bersedia mengabulkan syarat dari Kesultanan Banten sehingga kesepakatan damai pun berakhir. Oleh sebab itu, pada 11 Mei 1658, Sultan mengumumkan peperangan terhadap Belanda dengan cara menyerang dan menghancurkan kapal Belanda hingga merebut daerah Angke yang saat itu dikuasai Belanda. Untuk membuat para prajuritnya bersemangat melawan Belanda, ia sampai menjanjikan hadiah berlimpah berupa kedudukan dan uang untuk siapa saja yang berhasil membunuh opsir Belanda. Serangan yang terus dilancarkan pihak Kesultanan Belanda membuat Belanda lelah. Ujung-ujungnya, mereka kembali menawarkan perjanjian damai lewat perantara Sultan Jambi. Perjanjian damai yang berisi enam syarat tersebut disetujui Sultan Ageng pada 10 Juli 1659. Meski sebenarnya, sang sultan merasa kurang puas karena tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Banten bebas berdagang dengan Ambon. Kesepakatan damai bersama Belanda sudah ditandatangani, tapi Sultan Ageng paham bahwa Belanda sangat licik sehingga kemungkinan mereka menyerang tiba-tiba tetap ada. Oleh sebab itu, Sultan Ageng yang selama ini tinggal di Surosowan, membangun istana lagi di daerah Tirtayasa sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang yang dimaksudkan sebagai benteng pertahanan. Baca juga Biografi Albert Einstein, Ilmuwan Fisika yang Suka Musik Politik Adu Domba yang Berujung Perseteruan dengan Sultan Haji Sumber Meski memiliki persenjataan yang canggih, Belanda paham bahwa kekuatan pasukan Kesultanan Banten tak bisa diremehkan. Oleh sebab itu, mereka melancarkan politik adu domba untuk mengobrak-abrik keluarga sultan dari dalam. Jadi, Kesultanan Banten akan kacau dengan sendirinya tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Ya, mereka menemukan celah lewat Sultan Haji, dan dalam biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini, kami sajikan kisah lengkapnya. Sebagai seorang sultan, sesuai tradisi, Sultan Ageng mengangkat putra sulungnya, Pangeran Gusti, menjadi sultan muda dengan gelar Pangeran Anom. Kemudian, Sultan Ageng meminta Pangeran Anom pergi ke Makkah untuk lebih memperdalam ajaran Islam. Sedangkan tugas-tugas sultan muda, untuk sementara digantikan oleh Pangeran Purbaya, adik Pangeran Anom. Melihat kesuksesan sang adik dalam melaksanakan tugas sultan muda, membuat Pangeran Anom yang saat itu baru pulang dari Makkah merasa takut jika tahta akan diserahkan pada Pangeran Purbaya. Untuk mencegah hal tersebut, Pangeran Anom memaksa Sultan Ageng untuk menyerahkan tahta padanya. Tidak ingin menimbulkan keributan, pada 1671, Sultan Ageng menyerahkan urusan sehari-hari Kesultanan Banten kepada Pangeran Anom. Setelah diangkat menjadi sultan, Pangeran Anom diberi gelar Sultan Abu Nashar Abdul Qahar yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sejak saat itu, Sultan Ageng lebih memilih untuk tinggal di Istana Tirtayasa, sedangkan Istana Surosowan ditempati oleh Sultan Haji. Tindakan Sultan Haji yang tidak sopan terhadap ayahnya sendiri sebenarnya bukan tanpa alasan. Di balik itu, ada Belanda yang melihat bahwa Sultan Haji adalah orang yang lemah hati dan mudah dipengaruhi. Jadi, mereka semakin mengobarkan rasa iri yang ada di benak Sultan Haji terhadap Pangeran Purbaya. Baca juga Biografi Steve Jobs, Pendiri Apple yang Membangun Kerajaan Bisnisnya dari Nol Peperangan Antara Ayah dan Anak Seiring berjalannya waktu, Sultan Ageng menyadari bahwa putranya telah dipengaruhi oleh Belanda. Pada puncaknya, Sultan Ageng benar-benar kesal karena Sultan Haji mengirimkan ucapan selamat atas pengangkatan Rijklof van Goens menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Jovan Maetsuyker yang meninggal dunia pada 4 Januari 1678. Tak ingin bahwa penerusnya malah bekerja sama dengan musuh, Sultan Ageng memerintahkan pasukannya untuk menyerang Istana Surosowan yang ditempati Sultan Haji pada 26 Februari 1682. Akibat serangan yang mendadak itu, Sultan Haji terdesak dan melarikan diri untuk meminta bantuan Belanda. Karena prajurit Belanda yang ada di Banten kewalahan menangani pasukan Sultan Ageng, didatangkanlah dua kapal pasukan dari Jakarta yang dipimpin oleh Saint Martin. Setelah itu, datang lagi pasukan dalam jumlah yang lebih besar di bawah pimpinan Kapten Tack. Ingin memperkuat pasukan, Belanda mengirimkan lagi prajurit tambahan yang dipimpin Hartsinck. Menghadapi pasukan gabungan yang sedemikian banyak, pasukan Sultan Ageng terdesak mundur hingga terpaksa membumihanguskan Istana Tirtayasa dan melarikan diri ke Hutan Keranggan. Dari Keranggan, Sultan Ageng melanjutkan pelariannya ke Lebak, lalu ke Parijan, hingga akhirnya tiba di Sajira perbatasan Bogor. Selama bersembunyi, Sultan Ageng diikuti oleh orang-orang yang setia padanya, seperti Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Baca juga Biografi Dewi Sartika, Sang Pejuang Hak-Hak Kaum Perempuan dari Priangan Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa Sumber Instagram – azispitak126 Meski sudah berada jauh dari Istana Surosowan, rupanya keberadaan Sultan Ageng beserta pengawalnya diketahui Sultan Haji. Sultan Haji lalu diperintahkan Belanda untuk membujuk rayu sang ayah agar bersedia kembali ke Istana Surosowan. Tanpa curiga, Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah sepuh kembali ke Istana Surosowan sesuai permintaan putranya dan tiba di istana pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam. Tak lama setelah itu, Belanda datang dan menangkap Sultan Ageng Tirtayasa untuk dipenjarakan di Jakarta. Sang sultan kemudian wafat di dalam penjara pada tahun 1683. Berdasarkan permintaan para petinggi Kesultanan Banten, jenazah Sultan Ageng dipulangkan ke kampung halamannya untuk kemudian di makamkan di sebelah utara Masjid Agung. Atas kegigihannya dalam memerangi Belanda, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 045/TK/Tahun 1970, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar sebagai pahlawan nasional. Baca juga Mengenal Sosok Kartini dari Minahasa Melalui Biografi Maria Walanda Maramis Manfaat Membaca Biografi Sultan Ageng Tirtayasa Itu tadi adalah profil dan biografi lengkap Sultan Ageng Tirtayasa. Mulai dari latar belakang, sepak terjangnya semasa hidup, hingga perseteruannya dengan sang putra, semua telah kami ulas. Apakah kamu sudah merasa puas dengan sajian di atas? Ada banyak manfaat yang bisa kamu dapatkan dengan membaca biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini. Yang pertama dan utama, tentu saja kamu jadi bisa lebih menghargai perjuangan para pahlawan demi kemerdekaan bangsa. Selain itu, dengan menyimak perjalanan hidup Sultan Ageng Tirtayasa dalam biografi ini, kamu akan sadar bahwa terkadang orang lain hanya baik padamu jika ada maunya. Sementara kasih orang tuamu, tak akan hilang meski kamu telah berbuat buruk pada mereka. Jadi, apabila saat ini kamu masih memiliki orang tua, berbuat baiklah pada mereka selagi masih ada waktu. Sedangkan jika saat ini orang tuamu sudah dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa, kasihilah mereka dengan cara mengirimkan doa secara rutin. PenulisMentari AprelliaMentari Aprellia, adalah alumni Universitas Terbuka jurusan Ilmu Komunikasi dengan beasiswa penuh. Meski mampu membuat tulisan feature maupun hard news, penulis kurang suka membuat karya fiksi karena selalu bingung mengakhiri cerita. Penulis yang merupakan penggemar film horor, tapi penakut ini pernah magang sebagai wartawan lapangan di Koran Solopos, pernah bekerja sebagai guru TK, guru les privat, dan tukang desain gambar. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar.
Tirtayasadari Banten (lahir di Kesultanan Banten, 1631 - meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60-61 tahun) adalah sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipat'''i atau Pangeran Dipati, menggantikan
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. “Bangsa yang besar ialah bangsa yang mengenal perjuangan para pahlawannya”Baru beberapa hari yang lalu kita, kaum muda memperingati Hari Sumpah Pemuda. Hari yang mudah-mudahan masih bukan sekedar diperingati, tapi juga menjadi momentum penyemangat tiap tahunnya bagi kita kaum muda untuk terus berkarya bagi bangsa ini. Perjuangan kita saat ini memang bukanlah mengangkat bambu runcing dan melawan para penjajah, perjuangan untuk berkarya bagi bangsa itulah perjuangan kita saat ini dan untuk tetap bertahan dari gempuran “penjajahan modern” bernama globalisasi dan kapitalisme yang terus menambah semangat juang kita, tak ada salahnya untuk mengingat kembali perjuangan para pahlawan kita di masa penjajahan dahulu. Perjuangan para pahlawan hendaknya terus diingat, diteladani dan terus diceritakan bagi generasi penerus. Terkadang sedih hati ini bila saya bertanya pada adik saya tentang para pahlawan, hanya sedikit saja yang diketahui namanya apalagi perjuangannya. Jangankan adik saya, mungkin kita-kita yang sudah dewasa dan bahkan pernah mendapat pelajaran sejarah hingga bangku SMA pun bila ditanya mengenai pahlawan nasional, hanya beberapa saja yang kita ingat. Sebenarnya banyak cerita pahlawan yang menarik, tapi sebagai orang Banten maka tentunya saya akan membahas tentang Sultan Ageng Tirtayasa. Bagi orang Banten tentu nama pahlawan yang satu ini sangat dikenal. Bahkan namanya menjadi nama salah satu universitas negeri di Kota Serang. Tapi mungkin banyak yang belum mengetahui bagaimana perjuangan kisah pahlawan Banten yang satu Ageng Tirtayasa, merupakan penguasa Banten yang terkenal cakap dalam menjalankan pemerintahan di Banten pada sekitar tahun 1651-1683. Dalam masa pemerintahannya, Banten mengalami masa kejayaan terutama dalam bidang perdagangan dan penyebaran agama Sultan Ageng Tirtayasa dalam Mengembangkan Perdagangan BantenDalam pengembangan bidang perdagangan, beliau sejak masih dalam usia muda dan bergelar Sultan Abdul Fathi telah mengamati bahwa adanya VOC di Batavia suatu saat akan membahayakan Banten dalam bidang perdagangan. Praktek monopoli perdagangan yang dilakukan VOC akan merugikan perekonomian Banten, hal ini disebabkan para pedagang yang akan berlayar ke pelabuhan Banten harus singgah dulu di Batavia. Untuk mengatasi hal ini, Sultan Ageng Tirtayasa mengeluarkan sejumlah kebijakan, yakni memperluas wilayah perdagangan dengan memperluas daerah kekuasaan dan mengusir Belanda dari kebijakan itu, Banten menjadi kota pelabuhan dan perdagangan yang amat penting di Selat Malaka, dibandingkan Batavia. VOC yang tidak menyukai hal ini kemudian melakukan blokade perdagangan dengan Banten. Hingga akhirnya setelah tiga tahun lamanya, dan dampak blokade makin terasa akhirnya Banten terpaksa menyatakan pengakuan atas hak-hak Belanda dan perdagangan Banten pun dibatasi. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena beberapa bulan setelahnya Sultan Ageng Tirtayasa kembali membuka Banten sebagai pelabuhan Sultan Ageng Tirtayasa dalam Penyebaran Agama IslamDi saat yang bersamaan, Sultan Ageng Tirtayasa pun menginginkan Banten menjadi Kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Beliau menaruh perhatian yang sangat besar dalam bidang agama. Salah satunya ialah dengan mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan permasalahan agama dan penjadi penasihat sultan di kerajaan. Selain itu, beliau juga meningkatkan pendidikan agama baik di lingkungan kerajaan maupun rakyatnya dengan mendirikan berbagai pondok pesantren. Agama Islam pun berkembang pesat disertai dengan pembangunan berbagai sarana beribadah seperti mushala dan Perebutan Kekuasaan Kerajaan BantenSultan Ageng Tirtayasa dikaruniai dua putra, yakni Pangeran Gusti dan Pangeran Purbaya. Awal mula perebutan kekuasaan Kerajaan Banten bermula setelah kepulangan Pangerang Gusti dari Mekah. Kepergian Pangeran Gusti atau lebih dikenal dengan Sultan Haji ke Mekah sebenarnya dimaksudkan agar Pangerang Gusti dapat melihat perkembangan agama Islam di berbagai negara dan menyebarkan wawasan dan pengetahuan agama Islam-nya di bumi Banten. Selama kepergian Pangeran Gusti, tugas-tugas pemerintahan untuk sementara diserahkan pada Pangeran Purbaya setelah Sultan Ageng Tirtayasa mengundurkan kepulangan Sultan Haji dari Mekah dia melihat peranan adiknya yang lebih besar di bidang pemerintahan. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dengan Pangeran Purbaya dan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak konflik ini muncul, Sultan Ageng Tirtayasa sering pergi ke dusun Tirtayasa, dan bahkan mendirikan keraton baru. Dusun Tirtayasa sebenarnya merupakan awal mula julukan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, pada mulanya beliau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Keraton dan Asa yang belum HabisMasalah internal dalam kerajaan Banten ini tentunya tidak luput dari pengamatan Belanda yang masih mncari celah untuk melemahkan kerajaan Banten. Belanda kemudian mendekati Sultan Haji dan mengadu-domba dirinya dengan ayahnya. Belanda memanas-manasi Sultan Haji bahwa ayahnya kelak akan mngangkat Pangeran Purbaya sebagai Sultan, bukan dirinya. Akibatnya, Sultan Haji pun melakukan perjanjian dengan Belanda dan mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan tahun itu, setelah penggulingan kekuasaan tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa tidak lantas berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan Banten. Karena terus terdesak akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda. Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Gerilya dari Hutan Kranggan dan Adu Domba BelandaMeski kratonnya telah terbakar hangus, namun Sultan Ageng Tirtayasa tidak menghentikan perlawanannya sama sekali. Beliau masih memimpin perlawanan secara gerilya dari dalam hutan Kranggan bersamapara pengikutnya. Sultan Haji yang makin terdesak dan melakukan tipu-muslihat bersama Belanda dengan meminta Sultan Ageng Tirtaya untuk kembali ke keraton. Tanpa kecurigaan sedikit pun, beliau akhirnya kembali ke keraton, namun setibanya disana beliau ditangkap oleh Belanda. Akibat pengkhianatan yang dilakukan putranya itu pula, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara di Jakarta. Akhirnya pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia dan sebelum kematiannya beliau meminta untuk dimakamkan di samping makam Para Sultan di Masjid Agung. Demikianlah kisah singkat dari Sultan Ageng Tirtayasa. Mudah-mudahan bisa menjadi pengingat dan pemacu semangat kita dalam berkarya. Ingatlah perjuangan beliau yang bahkan tetap tidak mau menyerahkan Banten kepada kompeni Belanda hingga meski beliau telah terdesak dan terpaksa membumihanguskan keratonnya. Beliau tetap melanjutkan perlawanan secara gerilya dari hutan Kranggan. Perjuangan beliau tidak kenal lelah dan tidak rela bila tanah Banten dikuasai pun ialah pemimpin yang selain memperhatikan aspek perdagangan juga turut memperhatikan penyebaran agama Islam di tanah Banten. Sehingga pada masa kejayaannya, Banten menjadi kota pelabuhan dan perdagangan penting di Selat Malaka serta menjadi pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa khususnya diakhir perjuangannya, beliau tertangkap atas tipu-muslihat Sultan Haji dan Belanda, namun hal itu bukanlah karena dia menyerah secara sukarela. Beliau menyerah karena memang dijebak. Dijebak oleh pengkhianatan putranya sendiri. Mungkin dalam lubuk hati Sultan Ageng Tirtayasa, beliau masih ingin berbaikan dengan putranya dan memaafkan segala kesalahan putranya itu dengan tulus meski di akhir perjuangannya, putranya pula yang akhirnya mengakhiri perjuangan banyak kisah pahlawan Banten lainnya, yang mungkin dalam kesempatan lain akan saya kisahkan. Semoga menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk tidak mengenal kata menyerah dalam berkarya. Akhir perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa hendaknya menjadi pengingat untuk terus bersikap waspada dan menyaring segala arus informasi yang bertebaran di sekitar kita. Tidak semua informasi harus diterima, tetapi harus disaring sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan semangat berkarya, teladani kisah para pahlawan jadikan semangat baru bagi kita dalam menjalani lika-liku kehidupan ini ! Jangan Mudah Menyerah! Lihat Humaniora Selengkapnya
Bacajuga: Wajib Diketahui, Ini 5 Pahlawan yang Berasal dari Banten. VOC ikut campur saat terjadi persengketaan antara putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Haji dan Pangeran Purbaya. Penjajah bersekutu dengan Sultan Haji demi menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Sang pemimpin perjuangan dari daerah Banten tersebut berpulang pada 1683 dan
- Sultan Ageng Tirtayasa adalah sultan Banten ke-6 yang berhasil membawa Kerajaan Banten menuju puncak kejayaannya. Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya berkuasa antara tahun 1651-1683. Selama berkuasa, perannya tidak sebatas memajukan Kesultanan dari Banten yang gigih menentang VOC adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Berkat kegigihannya dalam membela bangsa Indonesia, ia bahkan dicap sebagai musuh bebuyutan dan keturunan Sultan Ageng Tirtayasa Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad sultan Banten ke-5 dan Ratu Martakusuma yang lahir pada 1631. Kakeknya bernama Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir atau dikenal sebagai Sultan Agung, sultan Banten ke-4 yang juga gigih memerangi Belanda. Setelah ayahnya wafat pada 1650, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat oleh kakeknya sebagai Sultanmuda dengan gelar Pangeran Dipati. Kemudian setelah kakeknya wafat pada 1651, ia resmi naik takhta menjadi raja Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abdul Fattah Al-Mafaqih. Dari istri-istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang anak.
2ypVQij. 482 204 197 299 47 94 441 21 101
putra sultan ageng tirtayasa yang bersahabat dengan penjajah belanda adalah